SEJARAH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

 
SEJARAH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

PENDAHULUAN

I.         LATAR BELAKANG
Pertanian memiliki peran penting dalam pembangunan suatu negara. Menurut Todaro (2006), jika suatu negara khususnya negara berkembang menghendaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan, maka negara tersebut harus memulainya dari daerah pedesaan pada umumnya dan sektor pertanian pada khususnya. Intisari yang terkandung dalam masalah kemiskinan yang terus meluas, ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin parah, laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, dan terus melonjaknya tingkat pengangguran pada awalnya terciptanya dari stagnasi serta terlalu seringnya kemunduran kehidupan yang terjadi di daerah pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan pedesaan dan pertanian perlu mendapatkan prioritas dalam perencanaan dan penanganannya agar tercipta kesejahteraan yang lebih baik untuk semua golongan masyarakat (Wijayanti, 2012).
Menurut Mubyarto (1989), pertanian di Indonesia dalam arti luas mencakup pertanian dalam arti sempit, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Pengembangan masing-masing sub sektor, salah satunya sub sektor perkebunan sangat diperlukan dalam rangka revitalisasi sektor pertanian. Sebagai suatu kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun, kondisi iklim yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman, dan curah hujan rata-rata per tahun yang cukup tinggi. Semua kondisi tersebut merupakan faktor-faktor ekologis yang baik untuk membudidayakan tanaman perkebunan.
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang masing-masing pulaunya memiliki hasil kekayaannya sendiri. Negara Indonesia yang beriklim tropis, sangatlah cocok dalam bidang pembudidayaan perkebunan dan pertanian. Sudah tidak asing lagi bagi negara-negara di dunia untuk mengetahui hasil produksi kelapa sawit dari Indonesia.
Tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional di Indonesia. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Konsumsi minyak kelapa sawit dunia yang sangat besar tidak mungkin terpenuhi oleh produsen kelapa sawit tanpa diusahakan intensifikasi dan ekstensifikasi (perluasan areal penanaman). Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka pemerintah memberi peluang dan kemudahan serta prioritas untuk mengembangkan penanaman kelapa sawit (Fauzi dkk, 2008).
Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an,industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Laju yang demikian pesat menandai era dimana kelapa sawit merupakan salah satu primadona pada sub-sektor perkebunan (Susila, 2007).

II.       TUJUAN PENULISAN
  Untuk mengetahui sejarah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

III.     KEGUNAAN PENULISAN
Untuk memenuhi komponen penilaian Mata Kuliah Perkebunan A: Kelapa Sawit, Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

SEJARAH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacquin.)

I.                   SEJARAH KELAPA SAWIT
Kelapa sawit adalah tumbuhan pohon yang tingginya dapat mencapai 24 meter dan memiliki bunga serta buah yang berupa tandan dan bercabang banyak. Nantinya bunga tersebut akan berubah menjadi buah yang apabila sudah masak akan berwarna merah kehitaman (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005). Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai dari mana asal kelapa sawit. Ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Afrika dengan alasan yang sangat kuat, yaitu berdasarakan catatan-catatan sejarah penjelajahan orang-orang Eropa ke Afrika. Sedangkan ahli lainnya mengatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan karena kelapa sawit tumbuh secara alami di pantai Brazil dan marga palma lain kebanyakan berasal dari Amerika Selatan, selain itu juga karena di Amerika terdapat lebih dari satu jenis kelapa sawit tidak seperti di daerah Afrika (Liseu, 2004).
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) diusahakan secara komersial di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, serta beberapa daerah lain dengan skala yang lebih kecil. Pohon kelapa sawit Afrika, Elaeis Guineensis, berasal dari Afrika Barat di antara Angola dan Gambia, manakala Pohon kelapa sawit Amerika, Elaeis oleifera, berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan (tepatnya Brasilia). Di Brasilia, tanaman ini dapat ditemukan tumbuh secara liar atau setengah liar disepanjang tepi sungai. Kelapa sawit yang termasuk dalam subfamily Cocoideae merupakan tanaman asli Amerika Selatan, termasuk spesies E. Oleifera dan E. Odora. Walaupun demikian, salah satu subfamily Cocoideae adalah merupakan tanaman asli dari Afrika. Zeven (1965) memastikan asal E. guineensis berdasarkan hasil deskripsi para ahli botani sebelumnya dan para penjelajah di benua Afrika. Nama-nama kelapa sawit dalam bahasa daerah dikedua sisi lautan Atlantik mengacu pada nama Afrika (Pahan, 2008).
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika tepatnya dari kawasan Nigeria di Afrika Barat. Penyebaran kelapa sawit dari daerah asalnya secara tidak langsung terkait dengan perdagangan budak dari Afrika pada abad pertengahan. Setelah Colombus menemukan benua Amerika dan terbukanya perjalanan ke kawasan Asia, tanaman kelapa sawit menyebar ke berbagai kawasan baru oleh usaha-usaha bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda (Kurnila, 2009).

II.                INTRODUKSI KELAPA SAWIT DI INDONESIA
Jika kita melihat kembali sejarah kelapa sawit, Indonesia bukan tempat pertama kali ditemukannya tanaman kelapa sawit. Awal mula datangnya tanaman kelapa sawit ke Indonesia yaitu pada tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan empat batang bibit kelapa sawit dari Maurutius dan Amsterdam, lalu kemudian dimulailah penanaman empat bibit tanaman kelapa sawit di Kebun Raya Bogor. Oleh karena itu tanaman kelapa sawit yang ada di Kebun Raya Bogor ini dianggap sebagai nenek moyang tanaman kelapa sawit di Asia Tenggara (Setyamidjaja, 2006).
Catatan paling awal mengenai introduksi kelapa sawit ke Indonesia tercantum dalam Hunger (1917), Rutgers et al. (1922) dan Hunger (1924) yang menyebutkan bahwa terdapat empat bibit kelapa sawit yang ditanam di Buitenzorg Botanical Garden (Kebun Raya Bogor) pada tahun 1848. Dari empat bibit tersebut, dua bibit diintroduksi dari Bourbon atau Mauritius pada Februari 1848 oleh D.T Pryce, sementara dua bibit yang lainnya diintroduksi dari Amsterdam pada Maret 1848. Rutgers et al. (1922) menduga bahwa bibit dari Amsterdam juga berasal dari kelompok yang sama dengan bibit yang berasal dari Bourbon.
Laporan resmi pertama mengenai tanaman kelapa sawit yang diintroduksi oleh D.T. Pryce di Bogor ditulis pada 23 Maret 1850 oleh J.E. Teysmann, seorang pengawas Pemerintahan (Intendant Gouvernements-hotels), yang isinya sebagai berikut: ‘Elaeis guineensis dari Hortus Botanicus Amsterdam yang dibawa oleh D.T. Pryce telah diterima. Palma ini merupakan tanaman yang menghasilkan minyak’.
Pada 1 Maret 1853, Teysmann kembali menulis laporan:Elaeis guineensis yang telah dilaporkan sebelumnya, telah menghasilkan bunga dan ditemukan bahwa dua tanaman yang berasal dari Bourbon keduanya berbunga jantan, tetapi dua tanaman lainnya yang berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam keduanya berbunga betina. Tanaman yang terakhir akan segera menghasilkan buah’.
Pada Maret 1856, Teysmann menuliskan laporan tentang kelapa sawit di Kebun Raya Bogor sebagai berikut: “Tanaman Elaeis guineensis yang sebelumnya hanya menghasilkan bunga jantan atau bunga betina, pada akhirnya menghasilkan bunga jantan dan bunga betina. Telah diperoleh banyak buah dari tanaman-tanaman tersebut, yang sebagian buahnya direbus untuk diambil minyaknya, dan sebagian buah digunakan untuk reproduksi. Namun demikian, belum diketahui apakah tanaman ini akan produktif dalam menghasilkan minyak, sebagaimana halnya tanaman kelapa, palma yang paling bermanfaat yang telah menyebar secara luas”.
Buah kelapa sawit yang dipanen dari empat dura tersebut (sesuai laporan Teysmann) didistribusikan secara gratis ke berbagai wilayah pada tahun 1853. Pada tahun 1858, Sekretaris Kantor Kolonial (the Secretary of the Colonial Office) di Hindia Belanda mengajak Pemerintah Negara Belanda untuk menjajaki kemungkinan penanaman kelapa sawit di Indonesia. Sebanyak 146 lot benih kelapa sawit didistribusikan ke: (i) Jawa dan Madura (mencakup Bagelen, Banyumas, Banyuwangi, Bantam, Batavia, Besuki, Cirebon, Yogyakarta, Jepara, Kediri, Kedu, Madiun, Madura, Pasuruan, Pekalongan, Priangan, Probolinggo, Rembang, Semarang, Surabaya, Surakarta, Tegal), (ii) Sumatera (Bengkulu, Lampung, Palembang, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Tapanuli, Riau), (iii) Kalimantan, (iv) Sulawesi, (v) Maluku, (vi) Nusa Tenggara.
Sebelum tahun 1860 sekitar 3.4 ha areal percobaan kelapa sawit dibangun di Banyumas dan 0.74 ha dibangun di Palembang (Rutgers, 1924). Selama periode 1859 – 1864, pengeluaran tahunan dibuat untuk pemeliharaan percobaan ini. Pada tahun 1864, percobaan kelapa sawit di Banyumas dan Palembang dihentikan. Laporan resmi menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit di kebun percobaan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan di tempat asalnya, dan tanaman mulai menghasilkan buah pada umur 4 tahun, lebih cepat dibandingkan di tempat asalnya yang memerlukan waktu 6-7 tahun untuk berbuah. Tanaman kelapa sawit tidak hanya diujicobakan di wilayah Banyumas dan Palembang, tetapi juga ditanam di residen lainnya, seperti di Residen Priangan. Beberapa perkebunan swasta juga mengujicobakan tanaman kelapa sawit di wilayah Pamanukan dan Ciasem, Cikandi Udik, Ciomas dan beberapa tempat lainnya.
Pada 1875, benih kelapa sawit yang berasal dari Kebun Raya Bogor ditanam di Distrik Deli Sumatera. Empat tahun kemudian pada 1879, J. Krol, Kepala Deli Maaatschappij melaporkan ke Kebun Raya Bogor bahwa kelapa sawit yang ditanam di Distrik Deli tumbuh dengan sangat baik (Rutgers et al., 1922).
Pada 1878, Direktur Kebun Raya Bogor merancang sebuah plot percobaan kelapa sawit seluas 1 acre (0.4 ha) di Economic Garden, Bogor. Kelapa sawit yang ditanam di Economic Garden ini diduga menjadi sumber kelapa sawit yang ditanam di perkebunan tembakau di Sumatra. Menurut Rutgers et al (1922) kelapa sawit diketahui  ditanam di perkebunan tembakau dekat Medan, dimana pengelola perkebunan menggunakan tanaman kelapa sawit sebagai tanaman hias di pinggir-pinggir jalan menuju bungalow dan gedung pusat. Tanaman paling tua diketahui berada di St. Cyr Estate yang ditanam pada 1884 dan Bekala Estate yang ditanam pada 1888. Selain itu, terdapat juga pohon kelapa sawit yang ditanam di St. Cyr Estate dan Bekala Estate pada 1898, di Morawa Estate pada 1898 dan 1903, serta di perkebunan Medan, Polonia, Sei Sikambing, dan Roterdam.
Kurangnya publikasi mengenai kegunaan kelapa sawit pada masa tersebut menyebabkan tidak adanya industri perkebunan kelapa sawit sebelum tahun 1911. Ketidaktertarikan untuk mengusahakan kelapa sawit dikarenakan ketiadaan industri pengolahan dan pada saat itu kelapa sawit tidak dapat berkompetisi dengan tanaman kelapa. Meskipun hasil pengujian di plot-plot percobaan menunjukkan hasil yang sangat baik, tetapi pengembangan kelapa sawit pada skala ekonomi pada masa itu tidak segera dikembangkan oleh Pemerintah Belanda. Dr Hunger dalam tulisannya mengenai sejarah kelapa sawit menyampaikan opini bahwa kegagalan dalam pengembangan kelapa sawit di Jawa lebih tinggi karena sikap dari otoritas lokal yang tidak memiliki antusias untuk mengembangkan lebih lanjut, dan menghentikan percobaan kelapa sawit sesegera mungkin.

III.             PERKEMBANGAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA
Kelahiran industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipelpori oleh M. Adrien Hallet, seorang warga negara Belgia. Berbekal pengetahuan tentang kelapa sawit yang didapat dari Kongo - Afrika, dan melihat pertumbuhan kelapa sawit yang baik sebagai tanaman hias di Sumatera, Hallet membangun perkebunan kelapa sawit pertama seluas 6500 acre (~ 2630 ha) pada 1911 di wilayah Sumatera bagian Timur mencakup Pulu Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh) dengan menggunakan bahan tanaman orijin Deli. Pada saat yang bersamaan, K. Schadt, warga negara Jerman, menanam 2000 bibit kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Di tahun-tahun berikutnya, kelapa sawit ditanam di setiap wilayah yang berdekatan dengan distrik-distrik tersebut.
Perang dunia pertama mempengaruhi perkembangan luas areal kelapa sawit. Hingga 1917, luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera masih sekitar 1.605 ha. Setelah perang dunia pertama, industri kelapa sawit berkembang cukup pesat. Pada tahun 1918 terdapat 2.100 ha kebun kelapa sawit yang dikelola oleh 19 kebun. Pabrik kelapa sawit (PKS) pertama dibangun di Sungei Liput pada tahun 1918.
Pada tahun 1922, jumlah perkebunan yang mengelola kelapa sawit mencapai 25 maskapai di Sumatera Timur, delapan maskapai di Aceh, dan satu maskapai di Sumatera Selatan dengan total luas area sekitar 6.916 ha dan meningkat menjadi 31.600 ha pada tahun 1925 (Hartley, 1977). Pada tahun 1938, perkebunan kelapa sawit di Sumatera mencapai luasan 90.000 ha (Moll, 1987), dan terus meningkat menjadi 100.000 ha pada 1939 yang dikelola oleh 66 kebun.
Pada masa penjajahan Jepang 1942 - 1945, banyak perkebunan kelapa sawit yang diganti dengan tanaman pangan dan pabrik kelapa sawit dihentikan kegiatannya. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1947 kebun-kebun tersebut dikembalikan ke pemiliknya semula. Setelah direinventarisasi hanya 47 kebun saja yang dapat dibangun kembali dari 66 kebun sebelumnya. Beberapa kebun mengalami kehancuran total seperti Kebun Taba Pingin dan Kebun Oud Wassenar di Sumatera Selatan, Kebun Ophir di Sumatera Barat, Kebun Karang Inou di Aceh dan beberapa kebun di Riau.
Menurut Badrun (2010), pengembangan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1970 terutama periode 1980-an. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri atas Perkebunan Besar Negara (PBN), namun pada tahun yang sama dibuka pula Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Perusahaan Inti Rakyat (PIR) adalah suatu pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan mempergunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan dan berkesinambungan. Pola ini berkaitan dengan program dari pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan sebagai upaya pemerataan pembangunan khususnya untuk masyarakat pedesaan di luar Jawa yang hidup dari sektor pertanian.

KESIMPULAN


1.      Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika tepatnya dari kawasan 
         Nigeria di Afrika Barat
2.      Pohon kelapa sawit Afrika, Elaeis Guineensis, berasal dari Afrika Barat di antara 
         Angola dan Gambia, manakala Pohon kelapa sawit Amerika, Elaeis oleifera, berasal 
         dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan (tepatnya Brasilia).
3.     Pada tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan empat batang bibit 
         kelapa sawit dari Maurutius dan Amsterdam kemudian dimulailah penanaman empat 
         bibit tanaman kelapa sawit di Kebun Raya Bogor.
4.     Kelahiran industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipelpori oleh M. Adrien 
        Hallet, seorang warga negara Belgia.
5.     Laporan resmi pertama mengenai tanaman kelapa sawit yang diintroduksi oleh D.T. 
        Pryce di Bogor ditulis pada 23 Maret 1850 oleh J.E. Teysmann, seorang pengawas 
        Pemerintahan (Intendant Gouvernements-hotels).

DARTAR PUSTAKA

Liseu. 2014. Analisis Strategi Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Di Pasar Internasional.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suprianto, E; Siregar,H. H; Purba, A. R. 2015. Sejarah Kelapa Sawit Di Indonesia. Balai Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Susila, W. R. 2007. Peluang Pengembangan Kelapa Sawit DiIndonesia: Perspektif Jangka Panjang 2025. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia,Bogor Indonesia.
Wijayanti, R. T. 2015. Analisis Keuntungan Dan SkalaUsaha Perkebunan Kelapa SawitGerbang Serasan(Studi Di Ke mcamatan Gunung MegangKabupaten Muara Enim). Universitas Diponegoro. Semarang.

Post a Comment

0 Comments